Tuesday, November 12, 2013

Hegemoni dalam film “White House Down” dan film “Olympus Has Fallen”

      
A.    Latar Belakang
Berbicara mengenai ideologi, ideologi sering diartikan sebagai sebuah gagasan maupun ide. Menurut pencipta kata tersebut, Destutt de Tracy, mengartikan ideologi sebagai “science of ideas” dimana didalamnya ideologi dijabarkan sebagai sejumlah program yang diharapkan membawa perubahan institusional (lembaga) dalam masyarakat. Menurut Karl Marx, ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Sehingga kita dapat memperoleh kesimpulan bahwa ideologi merupakan alat yang digunakan untuk memperoleh kesejahteraan masyarakat.
Ideologi kini telah berkembang pesat, begitu pula bila dilihat dari cara berkembangnya. Zaman sekarang, apa saja bisa menjadi sebuah cara untuk menyebarluaskan suatu ideologi. Tak terkecuali dengan media massa.  Media massa tidak hanya berupa televisi, radio dan alat alat medianya saja, tetapi isi dari media massa tersebut. Misal pada televisi, kita tahu bahwa di dalam televisi tidak lepas dari adanya film film yang ditampilkan. Dan disini kita akan membahas tentang film.
            Beberapa dekade terakhir ini, mulai marak munculnya sebuah ideologi didalam perfilman di Hollywood. Dimulai dari tahun 1960 an yang memunculkan ideologi radikalisme. Ideologi yang radikal. Kemudian pada 1970 an mempertontonkan tentang pertarungan antara paham liberalisme melawan paham konservatif , dan kemudian pada tahun 1980 munculnya kemenangan ideologi kebebasan. Semua ideologi tersebut muncul didalam dunia perfilman hollywood yang akhirnya merambah hingga dunia perfilman asia.
Hingga sekarang , ideologi dari sebuah film masih abu abu, bagaimana tidak, adanya interpretasi yang berbeda mengakibatkan ideologi tersebut tidak begitu terlihat apakah menganut ideologi liberal ataukah menganut ideologi radikal. Cara pandang ali ahli / teoritikus yang berbeda menghasilkan sesuatu yang berbeda. Namun , secara garis besar sebuah film pasti masih bisa dilihat tentang sesuatu yang ingin ditonjolkan dalam film tersebut, bisa tentang power, kekuasaan, keberanian , kepahlawanan dan lain sebagainya
Namun, pada akhirnya ideologi yang muncul didalam film seringkali dipengaruhi oleh beberapa kepentingan kepentingan. Dan kita dituntut untuk bisa mengetahui apa kepentingan yang dibawa dalam ideologi tersebut. oleh karena itu, kita harus bisa mencermati mana kepentingan kepentingan yang dibawa.

B.     Permasalahan
Masuk kepermasalahan yang dihadapi, bahwa ada sebuah hegemoni dalam setiap film yang ada, oleh karena itu, penulis tergelitik dengan kemunculann dua buah film yang berjudul “white House Down” dan  “olympus Has Fallen” yang bertemakan mirip dan muncul dalam tahun periode yang sama, dan hanya berselang beberapa bulan saja. Pertanyaannya adalah , ideologi apakah dan hegemoni apakah yang dibawa dan di sebarkan melalui kedua film tersebut ?
C.     Pembahasan
Film “white House Down” dan film “Olympus Has Fallen” menyajikan film tentang pertempuran antara pemerintah amerika serikat (gedung putih) melawan gerombolan terorisme yang mempunyai penyusup didalam gedung putih itu sendiri. Terorisme ini muncul karena adanya penghianatan dari dalam gedung putih. Kemudian muncul tokoh pahlawan atau hero yang menyelamatkan dan mengalahkan teorirsme itu. Masuk dalam pembahasan pertama dengan menggunakan prinsip prinsip dari Karl Marx yang pertama yang memunculkan kritik dari ideologi yang ada, film White Hous Down (WHD) dan Olympus Has Fallen (OHF) ini menunjukkan bahwa ke Amerika sangat membenci terorisme, hal ini mungkin karena tragedi 11 septembe 2001 dimana pesawat amerika itu dibajak dan ditabrakkan ke gedung WTC (World Trade Center) dan ke gedung gedung lainnya. Hal ini sepertinya masih membekas dan membuat mereka dendam terhadap terorisme.
Selain itu , kedua film ini menyajikan sisi maskulin dari seorang hero atau pahlawannya. Dalam film WHD disajikan Chaning Tatum yang memiliki tubuh berotot walaupun tidak sekekar rambo, juga dalam film OHF, dimana pemeran utamanya adalah Gerard Butner yang mana memiliki tubuh yang berisi dan kekar dalam film tersebut. Selain berotot, mereka berdua memberikan pandangan bahwa “seorang hero harusnya memiliki ketampanan.” Kedua pahlawan tersebut memberikan tambahan itu.
Kedua hero ini bukanlah sosok yang anti negara, berbeda dengan rambo, dalam jalan cerita nya chaning tatum justru ingin menjadi pengawal presiden dan Gerard Butner justru bekerja dalam departemen keuangan setelah dipindahtugaskan dari pekerjaan mengawal presiden. Justru didukung oleh negara nya, dengan begitu itu memunculkan mind set bahwa negara amerika yang membantu menciptakan pahlawan.  
Kemudian juga kedua tokoh ini menampilkan sisi kecerdasan dari diri mereka, terlihat ketika tokoh dalam OHF berhasil mengetahui penghianatan rekannya yang memiliki kondisi pekerjaan yang lebih baik dan lebih kaya ketika bertemu dan mengaku tersesat. Sedangkan tokoh WHD ini cenderung untuk menggunakan akalnya untuk mengalahkan para pemberontak / terorisme.
Dalam sisi gender, film membahas bahwa tokoh utama mendapatkan dukungan dari seorang perempuan yang memiliki jabatan dalam pemerintahan. Perempuan ini menjadi objek eksploitasi dari pemeran utama karena memiliki kepercayaan yang berlebihan terhadap tokoh utama dalam film ini.
Pada akhirnya semua kembali ke happy ending dimana kedua tokoh hero tersebut mampu atau sanggup untuk mengalahkan teorirsme dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah itu. Kemenangan tersebut mampu menebus kemaluan amerika ketika terkena serangan terorisme pada akhir tahun 2001 itu. Dengan begitu, film film itu ingin menegaskan bahwa amerika adalah negara super power, negara kuat yang tidak akan hancur karena serangan terorisme.
Dalam konteks kritik film secara konseptual ini masih belum bisa dilihat bagaimana dampak untuk mereka karena memang belum ada survey yang menghasil dari efek film ini , dan  juga film ini merupakan film baru pada 2013 jadi secara efek langsung belum begitu terlihat tapi secara teoritis bila kita melihat dari efek film rambo yang memiliki hampir tema yang hampir sama, bisa dipastikan bahwa film ini mungkin akan memberikan dampak yang hampir mirip pula seperti film rambo.
Kedua film ini juga menunjukkan bahwa mereka menunjukkan perlawanan terhadap ideologi fantasi liberal obama. Hal ini ditunjukkan pada sisi konteks atau teksual dari film ini. Kita perlu memahaminya. Bahkan film yang sangat ideologis seperti Rambo memiliki titik konflik sosial dan kekuatan yang mengancam hegemoni konservatif , seperti anti -perang , posisi anti - militer liberal yang begitu keras menentang. Dengan demikian ideologi dapat dianalisis dari segi kekuatan dan ketegangan yang merespon sedangkan proyek dominasi ideologi dapat dikonseptualisasikan dalam hal ketahanan reaksioner terhadap perjuangan rakyat terhadap nilai-nilai konservatif atau liberal tradisional dan lembaga . Kedua film ini menunjukkannya di detik detik akhir ketika presidennya ditawan, tokoh protagonis justru ingin menembakkan nuklir kepada negara asia tengah seperti korea utara dalam film OHF dan peluncuran rudal nuklir kepada mexico yang akan memicu munculnya perang dunia ketiga. Sosok pahlawan ymuncul. Oleh karena itu, film ini seperti menandakan perlawanan dengan apa yang dilakukan pemerintahan amerika sekarang ini. Kita tahu bahwa obama memberikan persetujuan kepada iran utnuk mengembangkan program nuklirnya. Oleh karena itu, film ini menolak dengan adanya program nuklir yang dikembangkan oleh iran secara tersirat mengenai bahayanya yang ditampilkan dalam film ini.
ideologi dapat dianalisis secara kontekstual dan relasional sebagai tanggapan terhadap perlawanan dan sebagai tanda ancaman terhadap hegemoni kelompok dominan, jenis kelamin, ras dan kekuasaan. Dalam film ini contohnya adalah liberalisme ala obama dan terorisme. Bisa kita lihat bahwa kedua film ini berawalan dari serangan teroris dan teroris tersebut menyerang atau mengincar nuklir untuk menghancurkan dunia. Karena itu, dalam film ini, hegemoni yang ingin dilawan adalah hegemoni kelompok yaitu teroris dan hegemoni kekuasaan yaitu kebijakan dari kepemrintahan obama.
Namun, satu hal yang harus diperhatikan selain dari konstektual teks adalah kehancuran dari gedung putih, itu bagaimanapun memberikan kesan bahwa terorisme itu adalah tindakan yang tidak beradab, tidak ada belaskasihan, dan sangat kejam dan jahat. Hal inilah yang harus dijadikan pemahaman bahwa terorisme tidak sekejam itu, walaupun pada akhirnya memang terorisme selalui melukai orang orang , tapi dengan adanya pengecapan seperti itu, maka label tentang terorisme yang kejam semakin melekat pada masyarakat setelah menonton film ini.
Perkembangan cara baru membaca dan mengkritik teks oleh apa yang disebut New Teori Perancis juga memiliki beberapa implikasi penting bagi kritik ideologi. Berbagai poststrukturalis Perancis telah memperebutkan keyakinan Marxis yang  agak sederhana bahwa ideologi berada di dalam dan merupakan pusat teks, dan kritik ideologi hanya melibatkan penolakan dan pembongkaran proposisi ideologi sentral dari tulisan. Terhadap prosedur ini, teori seperti Roland Barthes, Pierre Macheray, Jacques Derrida, dan pasca-strukturalis mengusulkan cara-cara baru membaca teks dan terlibat dalam kritik ideologi. Teks, dalam pandangan pasca-strukturalis, harus dibaca sebagai ekspresi dari banyaknya suara bukan sebagai ucapan dari satu suara ideologi tunggal yang kemudian akan ditentukan dan menyerang eeks sehingga membutuhkan pembacaan multivalen, dan satu set strategi kritis atau tekstual yang akan mengungkap kontradiksi, elemen marjinal contestatory, dan membungkam struktur dari teks. Strategi ini termasuk menganalisis bagaimana, misalnya, margin teks mungkin sama pentingnya dalam menyampaikan posisi ideologis tertentu, atau bagaimana margin teks mungkin melemahkan atau mendekonstruksi posisi ideologis lainnya ditegaskan dalam teks dengan kontradiksi atau meremehkan mereka..
Namun, walaupun metode ini merupakan metode yang bisa menghasilkan dan paling sukses untuk mengetahui hasil dari apa yang dibawa oleh sebuah film, tapi kenyataannya metode ini tidak bisa mennilai gambar, apa yang telah terjadi dan hanya sebatas penilaian terhadap teks saja, jadi teks belum tentu menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi bila hanya berkonsentrasi pada teks saja.

D.    Penutup

Pada akhirnya kita bisa mengetahui bagaimanapun sebaik baiknya film, sebagus bagusnya film , senetral netralnya film, tetap saja membawa sebuah ideologi yang tidak bisa disingkirkan ,ataupun dihilangkan dalam film yang ada di hollywood, entah itu film rambo, film red dawn, film white house down, ataupun film Olympus Has Fallen. Ada sebuah kepentingan yang terselubung dari film film tersebut. Dan kita sebagai penonton film, harus bisa mencermati, menerima dan mengkritik apa saja dari film film tersebut yang tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya memberikan kesan kesan yang bersifat tidak real atau nyata. Selain itu, kita perlu menangkap esensi dari film tersebut, dan kembali seperti konsep dasar kita, kita perlu mengambil apa yang baik dan membuang apa yang tidak perlu.

Friday, July 19, 2013

Masalah Bebas nilai dalam teori retorika

A.    Latar Belakang
Kita tahu, zaman kini berkembang, dari zaman yang dahulunya adalah zaman purba, kemudian menjadi zaman batu, lalu berkembang lagi hingga zaman modern ini. Perkembangan yang terjadi sungguhlah sangat pesat. Memang, ada beberapa faktor penting yang mempegaruhi, tapi salah satu faktor yang paling penting dari hal tersebut adalah meningkatnya ilmu pengetahuan.
Ya,  Semua tidak lepas dari yang namanya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan termasuk salah satu hal yang berkembang pesat. Dulu, zaman ketika kepercayaan teologi masih kuat, ilmu pengetahuan termasuk hal yang paling ditentang. Bisa diingat tentu, pada zaman copernicus ketika menemukan sebuah pengetahuan bahwa bumi itu bulat, oleh beberapa ahli agama dari gereja menentangnya dan akhirnya membunuhnya. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mengalami penolakan dan pertentangan.
Namun, setelah bergulirnya waktu, manusia menjadi semakin berkembang, manusia mengalami evolusi akal budinya.
“ Pemikiran manusia selalu mengalami perkembangan. Perkembangan itu terjadi baik dalam pikiran ilmuwan ataupun dalam dalam komunitas ilmuwan. Setiap ilmuwan selalu tumbuh ataupun berkemang setiap penelitiannya berkembang. Ia juga mewariskan pengetahuannya kepada generasi generasi berikutnya. Begitu juga hasil penelitian dari generasi terdahulu didiskusikan dan diteruskan kepada generasi mendatang berikutnya.” ( Keraf & Dua, 2001 hal 127).

Hal tersebut sudah cukup membuktikan bagaimana manusia mengalami perkembangan, dan tentu perkembangan manusia tersebut mempengaruhi dari berkembangnya ilmu pengetahuan. Karena secara tidak langsung manusia itu sendiri yang berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan. 
            Setelah manusia berevolusi dengan baik, ilmu pengetahuan pun menjadi berkembang dengan pesat, bahkan hal hal yang dulu dianggap sebagai hal hal mistis kini sudah dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Dengan begitu, kini banyak sekali manusia manusia yang telah bergantunga pada ilmu pengetahuan, bahkan dengan ilmu pengetahuan kita kini sudah dapat menjelajah langit dan bahkan menjelajah angkasa raya ini.
           



B .     Permasalahan
Namun, setelah ilmu pengetahuan berkembang pesat dan menyatu diseluruh elemen masyarakat, muncullah sebuah pemikiran, apakah ilmu pengetahuan ini bebas dari nilai nilai yang ada, ataukah justru terpengaruh oleh beberapa aspek nilai nilai kehidupan yang dapat mengakibatkan hilangnya kemurnian dari ilmu pengetahuan, dengan kata lain, ilmu pengetahuan telah kehilangan sisi kemurniannya?
Kita bisa ambil contoh kasus dari teori yang ada dimasyarakat, misalnya teori retorika. Teori ini bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang paling terkenal dan paling mudah untuk dipahami. Teori ini membahas tentang bagaimana kita bisa memanggil emosi pendengar, bagaimana kita bisa mendapatkan perhatian pendengar dengan menggunakan kata kata kita. Dari topik inilah, penulis ingin membahas tentang bagaimana hal ini berkorelasi dengan bebas nilai dan termasuk dalam kecenderungan apakah pengetahuan tersebut serta termasuk konteks apakah teori ini
C.     Pembahasan
Sebelumnya, mari kita ketahui terlebih dahulu tentang apa itu ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang tersusun dengan sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan  mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis oleh setiap orang lain yang ini mengetahui. (Abu Ahmad, Ilmu sosial dasar, hal 331). Ilmu pengetahuanmerupakan sebuah karya budi yang logis, tentu bila kita melihat dari apa yang dilakukan oleh kopernikus. Dia melakukan perjalan mengelilingi bumi pasti dengan menggunakan imajinatif dan akal budinya yang diperpadukan.
Banyak ilmuwan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan haruslah ilmu yang hanya mementingkan tentang ilmu pengetahuan, tidak tunduk dengan ilmu ilmu yang ada disekitarnya. Itulah yang disebut sebagai ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Bila ilmu pengetahuan tunduk dengan ilmu ilmu dasar lainnya seperti masalah moral, agama, politik, dll itu menandakan ilmu tersebut sudah mengalamai pembiasan atau biasa disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tidak memiliki kemurnian.
Selanjutnya, kita bisa melihat bagaimana teori retorika ini bekerja. Teori ini merupakan teori dimana kita mencoba untuk mensosialisasikan dan mempersuasikan segala sesuatu dengan apa yang kita miliki, dengan peralatan seadaanya, tapi bukan dengan menggunakan suap atau tindakan tindakan tercela lainnya. Teori ini memiliki dua asumsi dimana asumsi yang pertama adalah pembicara yang efektif mempertimbangkan khalayak mereka dan asumsi yang kedua adalah pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam presentasi mereka. Maksud kedua asumsi ini adalah yang pertama , membahas tentang bagaimana khalayak menjadi pertimbangan dalam membuat pidato, dan khalayak dianggap sebagai masyarakat yang heterogen, sedangkan asumsi yang kedua ini menjelaskan tentang bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh pembicara dalam menyiapkan dan pembuatan pidato tersebut. Ada 3 unsur yang harus dimasukkan disitu yaitu unsur pathos, logos dan etos. Pathos adalah bukti emosial, yang disampaikan kepada masyarakat, lalu logos adalah bukti logis, dimana bukti bukti secara konkrit yang diutarakan, dan etos adalah karakter, niat baik dan intelegensiadari pembicara.
Bila dilihat sekilas, mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa teori retorika merupakan teori yang memiliki ilmu pengetahuan yang benar benar tidak tersentuh oleh hal apapun (ilmu pengetahuan yang murni) tapi pada hakikatnya, terdapat beberapa pengaruh yang mempengaruhi teori tersebut.
Teori ini, memiliki kecenderungan untuk menegaskan bahwa pembicara memiliki niat yang baik, pembicara memiliki keinginan sesuatu yang baik, oleh karena itu, dia memiliki kecenderungan bahwa seseorang yang beretorika haruslah memiliki moral yang baik, tanpa hal tersebut mungkin retorika tidak akan berjalan. Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa teori ini sangat bergantung pada hal hal lain yang mungkin menjadi salah satu sumber yang menentukan bahwa teori retorika hanya bisa berjalan atau bisa digunakan hanya dengan menggunakan atau terpengaruhi oleh faktor moral. Dengan begitu kita bisa menilai bahwa teori retorika ini tidak bebas dari nilai.
Dilihat dari kecenderungannya, masalah kecenderungan dalam bebas nilai memiliki dua kecenderungan, yaitu kecenderungan puritan-elitis dan kecenderungan pragmatis. Kecederungan puritan elitis ini beranggapan bahwa tujuan akhir dari ilmu pengetahuan merupakan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi, kecenderungan ini memiliki harapan bahwa ilmu pengetahuan yang ada ini diciptakan hanya untuk ilmu pengetahuan sendiri, tidak ada intervensi dari kepentingan kepentingan lainnya yang merasuki ke dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan bila dilihat dari kecenderungan  pragmatis nya, ilmu pengetahuanhanya dianggap untuk mementingkan dan berguna bagi manusia itu sendiri. Dengan artian, ilmu pengetahuan tersebut mungkin saja terdapat intervensi intervensi dari kepentingan lainnya, bila hal tersebut dapat memberikan manfaat bagi manusia. Itulah mengapa , didalam teori ini, kita tidak hanya mengerti akan “tahu bahwa”, “tahu akan” dan “tahu mengapa” saja, melainkan kita juga perlu mengetahui “tahu bagaimana” juga.
Melihat dari dua kecenerungan yang ada, kita perlu menilik juga tentang bagaimana fungsi dari teori retorika ini. Teori ini merupakan teori yang memiliki fungsi untuk mempersuasikan kebenaran, maksudnya, kita kembali lagi harus melihat mengapa aristoteles menciptakan ini. Dilihat dari sejarahnya, aristoteles menciptakan teori ini untuk membantu anggota masyarakat yang tidak mampu menyewa jasa para sufis ( guru publik speaking) dalam menjadi hakim dalam sebuah peradilan menyangkut berbagai kasus kasus kriminal dan lain lain. Oleh karena itu, maka muncullah teori ini. Aristoteles tetap menekankan pentingnya kebenaran yang tidak lepas dari logika dan bukti bukti dalam presentasi mereka.
Bila dilihat maksud dan tujuan dari penciptaannya, maka kecendurangan yang mungkin ada dalam konteks ini adalah kecenderungan pragmatis, dimana teori tersebut digunakan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Hal itu bisa dilihat dari mengapa teori tersebut diciptakan oleh aristoteles, yaitu untuk kebenaran manusia itu sendiri. Dengan begitu, tentu sama dengan kecenderungan pragmatis yang lebih mementing kegunaannya bagi manusia itu sendiri.
Bila kita melihat dari kecenderungan tersebut kita sudah mengerti bahwa teori tersebut lebih condong dalam kecederungan pragmatis, namun bila kita melihat dari segi konteksnya, mungkin akan menemukan hasil yang berbeda, mungkin saja.
Jadi, pada dasarnya, sintesis ini memiliki dua konteks, yang pertama adalah context of discovery dan yang kedua adalah context of justification. Context of discovery ini menjelaskan tentang konteks dimana ilmu pengetahuan ditentukan. Maksudnya adalah Ilmu penetahuan tidak ditentukan, ditemukan dan berlangsung dalam keadaan vakum, lepas dari hal tersebut, ilmu pengetahuan ditemukan dalam keadaan berkembang, dimana ilmu pengetahuan tersebut juga bisa menyelesaikan persoalan persoalan yang ada untuk manusia. Oleh karena itu, banyak ilmuwan yang dengan niat untuk mencapai sasaran dan tujuan yang lebih dari sekadar mencari kebenaran ilmiah murni.Mungkin saja, ilmuwan melakukan penelitian atau kegiatan ilmiah dengan tujuan , misalnya demi keselamatan manusia, atau kepentingan komersial ataupun non komersial, dan kepentingan kepentingan pribadi lainnya. Dalam konteks ini, sebenarnya membahas pula mengenai banyaknya intervensi intervensi dalam ilmuwan menciptakan kebenaran / kegiatan ilmiah. Hal tersebut ada karena pertama, latar belakang dari ilmuwan itu sendiri, kedua, keputusan tentang masalah mana yang ingin mereka teliti, dan ketiga, keputusan dari lembaga penelitian tentang jenis penelitian apa yang akan diteliti, dan keempat, yang paling penting, keputusan dari penyandang dana. Kelima adalah keputusan dan kebijaksnaan umum dalam masyarakat yang bersangkutan. Itulah mengapa dalam konteks ini ilmu pengetahuan tidak bebas nilai.
Kemudian bila kita melihat dari sudut pandang context of justification, maka kita bisa menemukan bahwa prinsip dari konteks ini adalah ilmu pengetahuan bebas dari nilai. Dalam konteks ini, yang dimaksudkan adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dari kegiatan ilmiah. Inilah konteks dimana kegiatan dan hasil diuji secara kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Maka dari itu , dengan adanya itu, maka yang ingin disampaikan adalah bahwa satu satunya nilai yang diperhitungkan adalah nilai kebenaran. Dengan hal tersebut, maka dimaksudkan untuk melindungi objek dari hasil akhir kegiatan ilmiah, dan dengan demikian sekaligus melindungi otonomi ilmu pengetahuan, tapi hal itu memiliki konsekuensi yang harus ditanggung. Pertama, tujuan ilmiah dari penelitian ilmiah harus dibedakan dari tujuan pribadi dan sosial yang terkandung dalam penelitian ilmiah. Kedua, kemajuan ilmiah harus dibedakan dengan kemajuan sosial pada umumnya, padahal keduanya memiliki kaitan yang cukup erat. Ketiga, rasionalitas,kaidah ilmiah, dan kriteria ilmiah hanya berkaitan dengan bukti bukti empiris dan rasional. Keempat, dalam kaitan dengan ilmu ilmu empiris, penilaian mengenai hasil kegiatan ilmiah didasakan pada keberhasilan dan kegagalan empiris, serta kelima, hanya ilmuwan yang memiliki wewenang untuk memberi penilaian tentang fakta tentang fakta dan data, sekaligus kebenaran hasil penelitian.
Jika kita melihat dari tujuan dari teori retorika, dan kegunaan dari teori ini serta mengapa ada teori ini, maka sepertinya, teori ini lebih condong dan masuk dalam konteks context of discovery, mengapa demikian ?
Kita bahas sedikit tentang ini, pertama adalah teori ini tercipta dan berasal dari masyarakat itu sendiri, hal inilah yang mendasari munculnya teori ini, seperti sudah disebutkan diatas, teori ini berkaitan erat dengan keadaan sosial. Setelah semakin lama teori ini ada, dan berkembang, kita semua mengetahui kini teori ini tidak hanya digunakan saja dalam pengadilan atau hakim saja, kini bahkan seorang sales pun sudah menggunakan retorika dalam menjual barang dagangannya, dengan begitu perkembangan dari teori ini sangat erat kaitannya dengan keadaan sosial. Selain itu,teori ini sangat memiliki sangkut paut dengan hal hal lain seperti aspek moral. Bila tidak ada aspek aspek dari luar yang mempengaruhi, maka retorika tidak akan berkembang dan hanya akan stagnan di dalam teori itu tersebut. Dengan bukti bukti yang sudah cukup kuat seperti itulah, maka secara tidak langsung, bisa dikatakan bahwa teori ini merupakan teori yang memiliki sintesis context of discovery karena tidak terlepas dari nilai nilai yang ada
D.    Penutup
Jadi, dari hasil pembahasan yang telah dipaparkan, dalam dunia nyata, kita tidak bisa melepaskan suatu ilmu pengetahuan dari pengaruh pengaruh luar yang ada karena kemajuan ilmiah sangat berkaitan erat dengan kemajuan sosial, ketika ilmiah berkembang pesat maka secarap tidak langsung pula, sosial juga mengalami kemajuan, hal yang tidak berbeda pun dengan sebaliknya, ketika kehidupan sosial mengalami kemajuan maka ilmiahpun akan mengalami kemajuan. Dengan demikian, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan sosial itu  khususnya teori retorika tidak bebas nilai.










Daftar Pustaka
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2010.Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi.Jakarta : Salemba Humanika.
Keraf, A Sonny dan Michael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filsafatis. Yogyakarta : Kanisius

Ahmadi, Abu. 2009. Ilmu Dasar Sosial. Jakarta : Bhineka Cipta

Wednesday, July 17, 2013

Pengaruh globalisasi dalam timbulnya budaya instan di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perubahan perkembangan dunia semakin canggih, semakin cepat, semakin modern, tapi juga semakin tidak terkontrol dan semakin menuju ke arah yang lebih modern. Zaman yang berkembang pesat ini tidak dapat dihindari oleh siapapun, oleh negara manapun dan dapat mempengaruhi setiap negara dan individu yang mengikutinya. Perkembangan yang terjadi ini membuat dunia semakin tidak terbatas, semakin kecil dan semakin dapat diketahui isi dari dunia ini. Dunia kini semakin seperti sebuah perkampungan, dimana bila ada sebuah informasi baru muncul, maka dalam hitungan jam bahkan detik sudah dapat menyebar hingga seluruh dunia. Tidak ada pembatasnya, tidak ada penghalangnya, tidak ada rintangannya dan kemajuannya tersebut sangatlah pesat. Kemajuan inilah yang dapat disebut sebagai “Globalisasi”.
Globalisasi tidak bisa dipungkiri lagi kini menjadi fenomena baru setelah kemunculannya pada akhir abad ke-20. Globalisasi kini sudah menjalar keseluruh aspek kehidupan, tidak hanya didalam aspek-aspek kehidupan individu saja tapi juga aspek kehidupan didalam masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan perkembangan sistem informasi merupakan salah satu faktor yang mendukung perkembangan globalisasi.
Globalisasi selain merupakan perkembangan yang memodernkan, juga dapat disebut sebagai sebuah masalah. Globalisasi bisa disebut sebagai sebuah permasalahan karena dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan zaman, terjadi perubahan dan transformasi dari sebuah peradaban berkembang menjadi sebuah peradaban yang modern, tentu akan membutuhkan sebuah adaptasi yang bisa menjadi sebuah masalah serius bila gagal dihadapi. Globalisasi menjadi sebuah tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan, dalam upaya untuk mengambil dampak positif dalam penggunaannya dalam kehidupan ini.
Terlepas dari globalisasi yang sangat berpengaruh dalam kehidupan di masyarakat, tentu bila dikaji lebih jauh, dengan adanya globalisasi, semua hal di dunia dapat saling terhubung satu sama lain dengan baik, dimana batas ruang dan waktu bukan menjadi sebuah penghalang seperti yang diungkapkan diatas itu. Segala hal bebas keluar masuk dalam suatu negara, tentu tidak hanya barang dan jasa saja yang bergerak, namun juga bagaimana pendidikan, pola pikir, kebudayaan, pola konsumsi dan lain-lain. Hal inilah yang tentu mengakibatkan akan ada sebuah pergesaran atau perubahan yang sangat terlihat nyata, yaitu pergeseran perilaku manusia, pergeseran atau perubahan suatu sistem yang berkembang suatu negara atau masyarakat, dan perubahan nilai kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Pergeseran nilai budaya atau sistem yang ada didalam masyarakat tersebut tidak terjadi secara langsung, tapi dengan bertahap dan teratur. Pada kondisi awal, masyarakat yang mengalami pergeseran perilaku dan nilai budaya ini tidak akan menyadarinya, tapi bila budaya sudah menyimpang jauh dari kebudayaan atau perilaku asalnya, maka hal tersebut akan makin jelas terasa dan makin terlihat efek dan dampaknya. Contoh saja, dengan berkembangnya teknologi dan sistem informasi, seperti laptop, internet, handphone dan lain-lain, mengakibatkan masyarakat justru lebih senang menyibukkan diri dengan perkembangan tersebut dan cenderung menjadi lebih anti sosial dibanding sebelum adanya hal-hal tersebut. Tentu, dapat terlihat jelas di tempat umum seperti di dalam kendaraan umum, di taman, di jalan raya, hampir semua masyarakat lebih menikmati gadget daripada melihat ke sekeliling atau berinteraksi satu sama lain. Di Indonesia sendiri, pemandangan seperti itu sering terjadi. Di daerah Jawa, yang terkenal ramah dan suka menyapa pun seperti hidup dalam dunianya sendiri, individualistik, dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitar.
Contoh lainnya adalah dengan berkembangnya nilai budaya instan, apa itu budaya instan? Budaya yang segalanya ingin mudah dan tidak repot. Di zaman globalisasi seperti ini, kebutuhan akan sesuatu yang siap dan cepat tersaji meningkat pesat daripada zaman zaman sebelumnya. Di zaman ini, semua manusia mempunyai teknologi yang canggih, teknologi yang tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan teknologi tersebut, manusia atau individu cenderung ingin mengerjakan dan atau mendapatkan hasil sesuatu dengan instan. Memang benar, pada dasarnya tidak salah hal tersebut terjadi, karena industri meminta hasil yang banyak ditengah keterbatasan waktu sehingga manusia memanfaatkan teknologi yang ada tersebut untuk memenuhi ekspetasi kebutuhan pasar dari industri tersebut, tapi belakangan ini justru terjadi penyalahgunaan dari kelebihan teknologi tersebut. Fenomena yang terjadi justru adanya kegiatan copy-paste atau biasa dikenal dengan sebutan plagiatisme, kemudian disalahgunakan untuk mencontek ketika ujian, dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa budaya yang ada sudah mengalami perubahan atau pergeseran yang cukup signifikan sehingga perlu adanya pencegahan-pencegahan atau pemberhentian hal-hal semacam ini yang dapat menimbulkan budaya yang buruk.

B.       Rumusan Masalah
Globalisasi sudah menjadi fenomena pada tahun 2000 atau awal abad ke-21 atau akhir abad ke-20, hal ini menunjukkan bahwa globalisasi merupakan sebuah fenomena yang mendunia, bukan hanya berpengaruh pada satu dua negara saja. Dari sebuah fenomena, tentu selalu menimbulkan dampak positif dan negatif, globalisasi sebagaimanapun memberikan efek positif, tentu juga memberikan efek negatif. Dari sisi kebudayaan, globalisasi juga memberikan sumbangsihnya dalam terjadi pergeseran nilai-nilai budaya terlebih dengan budaya tradisional yang ada di Indonesia khususnya budaya tradisional Jawa. Disini penulis ingin membahas:
1.      Bagaimana dampak globalisasi terhadap pergeseran nilai kebudayaan sehingga memunculkan budaya baru yaitu budaya instan?
2.      Bagaimana kita harus mencegah, menyikapi dan mengatasi pergeseran nilai-nilai budaya kearifan lokal akibat globalisasi khususnya ancaman budaya instan?


C.      Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang penulis rumuskan, maka beberapa hal yang ingin penulis raih adalah sebagai berikut:
1.      Memahami globalisasi.
2.      Memahami dampak dari globalisasi.
3.      Memahami perubahan nilai budaya tradisional yang berkembang di Indonesia.
4.      Memahami cara untuk mencegah, menyikapi dan mengatasi pergeseran nilai-nilai budaya kearifan lokal akibat globalisasi khususnya ancaman budaya instan.

D.      Pembatasan Masalah
Untuk menghindari perluasan pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan yang ada sebagai berikut: masalah yang dibahas merupakan dampak mendasar dari globalisasi, pergeseran nilai budaya nasional Indonesia (kearifan lokal) lebih ditekankan pada kasus kejujuran, kaitannya dengan plagiatisme hingga korupsi, dan solusi yang kami tawarkan beranjak dari budaya kehidupan mentalitas psikologis bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
                                                           



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Globalisasi
Banyak pandangan tokoh mengenai apa itu globalisasi karena pada dasarnya globalisasi memiliki penafsiran yang berbeda-beda tergantung dari para tokoh tersebut mengambil sudut pandang, megungkapkan permasalahan dan hal yang dibahasnya, sehingga muncul berbagai definisi globalisasi. Mengutip beberapa definisi dari beberapa tokoh, seperti Giddens (1990), mengatakan bahwa globalisasi merupakan intensifikasi relasi sosial di seluruh dunia yang menghubungkan daerah jarak sedemikian rupa sehingga seperti kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa yang terjadi bermil-mil dan sebaliknya. Kemudian ada juga definisi dari seorang Anthony McGrew (1992) yaitu proses sejarah yang melibatkan pergeseran mendasar dan transformasi dalam skala spasial dari organisasi sosial manusia yang menghubungkan jarak diantara masyarakat  dan memperluas jangkauan relasi kekuasaan antar daerah dan benua. Pendapat lainnya lagi, berasal dari seorang Barret (1991) globalisasi paling baik dipahami sebagai penutup legitimasi atau ideologi, seperangkat gagasan yang mendistorsi realitas sehingga untuk melayani kepentingan tertentu. Menurut Roland Robertson (1990), globalisasi adalah “kristalisasi dari seluruh dunia sebagai satu tempat”. Menurut Kamus Ilmu Sosial (Calhoun, 2002: 192) menawarkan konsep berikut: globalisasi adalah penggabungan semua istilah untuk perluasan beragam bentuk kegiatan ekonomi, politik, dan budaya di luar perbatasan nasional.
Beberapa pendapat tersebut sepertinya belum cukup untuk memahami arti penting dari globalisasi, karena pada dasarnya, globalisasi sendiri memiliki pengertian yang berbeda-beda, tergantung dari konteks dan dimensi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan definisi globalisasi itu sendiri. Namun, merujuk pada arti kata globalisasi sendiri, kita dapat memiliki gambaran tentang apa itu globalisasi. Menurut asal katanya, globalisasi berasal dari kata “global” yang memiliki arti menyeluruh atau menyebar. Jadi, bila diambil dari kata dasar global tersebut, maka globalisasi memiliki arti proses penyeluruhan atau proses peleburan menjadi satu. Hal ini dapat digambarkan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses yang menyeluruh atau melingkupi seluruh dunia dimana batas negara, batas ruang dan batas waktu tidak menjadi suatu halangan lagi untuk mengetahui seluruh informasi yang ada dalam suatu kondisi dari suatu daerah atau tempat.

B.       Dampak Globalisasi
Pada dasarnya, globalisasi mempunyai peran penting dalam perkembangannya di dunia ini. Menurut Schirato dan Webb (2003: 199) melihat globalisasi sebagai rezim diskursif, semacam mesin yang memakan siapa pun dan apa pun di jalan hadapan mereka tanpa memandang bulu. Mereka berpendapat bahwa fungsi globalisasi sebagai serangkaian teks, ide, tujuan, nilai, narasi, disposisi dan larangan, template benar untuk pemesanan dan evaluasi kegiatan, yang "diisi" atau infleksi dengan kepentingan siapa pun dapat mengaksesnya.
(Schirato dan Webb, 2003: 200).
Melihat pentingnya peran globalisasi pada era ini, tentunya juga akan menghasilkan dampak, tidak terkecuali seluruh aspek kehidupan. Terdapat banyak dampak globalisasi, baik dampak positif maupun dampak negatif. Secara umum, globalisasi memberikan dampak positif sebagai berikut:
1.    Teknologi semakin canggih
Globalisasi mengakibatkan munculnya ide-ide tentang teknologi baru, karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan informasi membuat setiap individu dapat mengetahui cara terbaru atau langkah-langkah terbaru atau langkah-langkah membuat teknologi yang baik dan benar sehingga tipa-tiap individu bersaing secara sendirinya untuk menghasilkan alat-alat teknologi yang canggih.
2.    Mudah memperoleh ilmu pengetahuan dan informasi
Informasi dan ilmu pengetahuan dapat tersebar secara cepat berkat adanya teknologi yang canggih, dengan teknologi yang canggih, maka semakin mudah mendapat informasi dan ilmu pengetahuan, misal saja dengan adanya internet, maka kita tidak perlu susah susah mencari informasi atau ilmu pengetahuan yang tidak ada didalam buku yang kita punya.
3.    Munculnya pasar persaingan secara global
Tidak terbatas tempat dan waktu serta dengan adanya informasi yang terbaru mengenai tentang sesuatu dan adanya teknologi yang canggih maka pasar persaingan global bukan hal yang mustahil untuk dilakukan, contoh dengan mengetahui keadaan dan daya saing mobil Lamborgini di pasar bebas misal di Indonesia, tentu akan memudahkan perusahaan Lamborghini untuk mengeluarkan dan menyediakan kebutuhan mobil yang diinginkan dan sesuai dengan keadaan di Indonesia. Hal tersebut terjadi bila perusahaan Lamborghini ini mempunyai info tentang Indonesia, mengerti kebutuhan mobil yang diperlukan di Indonesia, memiliki teknologi pegiriman mobil yang canggih sehingga tidak memakan waktu lama untuk mengantarkannya ke Indonesia.
4.    Tidak terbatas ruang dan waktu
Dengan tidak adanya batas-batas negara untuk masalah teknologi, mengakibatkan informasi bebas keluar masuk dalam sebuah negara dengan legal, sehingga tidak hambatan untuk mengetahui dan mengerti tentang suatu kejadian atau peristiwa terbaru yang terjadi sehingga tidak tertinggal berita dan dapat tetap update mengenai masalah-masalah dan peristiwa terbaru.
5.    Semakin mudah melakukan komunikasi antar negara
Dengan berkembangnya teknologi tentu membuat komunikasi antar negara lebih mudah, dengan adanya teknologi terbaru tentu memudahkan beberapa negara untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan baik dan lebih baik lagi, tetapi bisa juga mengakibatkan hubungan yang tidak baik pula. Dan semuanya menjadi lebih mudah dan gampang setelah adanya teknologi yang canggih.
6.    Semakin mudah mendapatkan kebutuhan
Dengan canggihnya teknologi dan mempunyai sumber informasi yang terbaru dan terpercaya, setiap individu dapat memperoleh kebutuhan yang dibutuhkan dengan mudah, dari kebutuhan primer, sekunder hingga tersier kini sudah dapat didapatkan dengan bermodal teknologi canggih dan informasi yang akurat, selain itu, dengan adanya pasar persaingan global membuat setiap individu mendapatkan kebutuhannya sesuai dengan yang dibutuhkan dan diinginkan.
Keenamnya saling berkaitan dan saling berpengaruh satu sama lain sehingga tidak dapat dilepaskan kaitannya masing-masing. Keenam dampak ini sangat dominan dan tidak dapat diabaikan, karena bila diabaikan tentu dampak-dampak yang lainnya juga akan muncul atau ada. Karena itu, keenam hal tersebut saling berkaitan dan terikat satu sama lain. Namun, dibalik semua dampak positifnya, justru timbul dampak negatif, antara lain:
1.    Meningkatnya kesenjangan sosial
Walaupun sebelum adanya globalisasi kesenjangan sosial sudah ada, tetapi dengan adanya globalisasi justru menambah dan memperparah kesenjangan sosial yang sudah ada. Dengan adanya pasar persaingan secara bebas maka memperparah kesenjangan sosial, dimana dapat saja terjadi monopoli barang dan mengakibatkan perusahaan saingan bangkrut. Begitu pula dengan semua dampak positif lainnya, hal tersebut bisa saja menghasilkan kesenjangan yang lebih parah dan membahayakan.
2.    Munculnya sikap individualistik
Sikap individualistik muncul dengan adanya globalisasi ini, karena munculnya pasar persaingan bebas dimana kebutuhan tiap individu meningkat dan tentunya membutuhkan pemasukan yang besar pula, sehingga untuk mencukupi dan mendapatkan pemasukan yang lebih besar tersebut setiap individu berusaha untuk menentukan dan mendapatkan pekerjaan dan menambah pemasukan yang besar atau banyak sehingga memunculkan persaingan di tiap individu yang akhirnya saling menjatuhkan dan saling bersaing secara tidak sehat untuk mendapatkan pekerjaan dengan hasil yang memuaskan atau pendapatan sampingan yang lebih besar. Selain itu, dengan adanya globalisasi memungkinkan terjadinya peleburan atau peniruan budaya dimana budaya barat yang menjadi bahan percontohan justru memiliki budaya individualistik yang sangat tinggi dibandingkan budaya masyarakat timur.
3.    Tuntutan kerja tinggi
Tuntutan kerja yang tinggi muncul karena adanya persaingan di bidang teknologi dan ekonomi yang sangat ketat yang mengakibatkan pegawai atau pekerja dituntut untuk mengeluarkan tenaga yang lebih besar dibanding dengan upah atau gaji yang didapatkan. Selain itu, dengan adanya ketidak-terbatasan ruang dan waktu mengakibatkan daya saing pekerja lebih banyak, tidak hanya pekerja yang berada di dalam suatu daerah saja, tapi juga bersaing dengan pekerja yang berasal dari luar daerah bahkan luar negeri. Hal ini pulalah yang mengakibatkan kesenjangan sosial yang besar.
4.    Masuknya berbagai kebudayaan luar
Dengan ketidakterbatasan waktu dan ruang mengakibatkan masuknya berbagai kebudayaan dari luar negeri yang sangat banyak dan masuk ke dalam  negeri. Hal ini diperparah dengan tidak adanya penyaringan terlebih dahulu budaya luar negeri yang masuk dan diterima secara mentah-mentah. Hal inilah yang mengakibatkan lunturnya bahkan hilangnya budaya dalam negeri karena tidak ada saringan atau seleksi dari masyarakat terhadap budaya yang masuk.
5.    Meningkatnya pragmatisme
Pragmatisme merupakan sebuah pandang dimana benar dan salah dilihat dari kegunaan atau nilai manfaat sesuatu. Individu kini banyak yang memilih cara ini, tidak ada lagi kesetiaan atau loyalitas, lunturnya patriotisme, semua bergantung pada mana yang menguntungkan atau merugikannya sesuatu hal, dan setiap individu bahkan mau meninggalkan kebudayaannya sendiri demi mendapatkan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhannya atau dengan kata lain mana yang menguntungkan itulah yang dituju.

6.    Munculnya budaya plagiatisme
Dengan tingginya tuntutan kerja membuat beberapa individu melakukan hal-hal curang untuk memenuhi tuntutan kerja tersebtu seperti mencontek, plagiatisme dan lain lain. Plagiatisme sendiri kini menjadi sudah menjadi budaya yang cukup merepotkan dan mengesalkan sehingga dibuatlah UU tentang hak cipta untuk menghindari plagiatisme.
Keenam dampak positif dan negatif tersebut sudah menyebar di dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi untuk negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pola perilaku yang ada didalam masyarakat indonesia. Menilik dampak-dampak yang dihasilkan dari efek globalisasi tersebut, sebenarnya dapat ditarik benang merahnya, bahwa dengan adanya dampak-dampak tersebut akan menimbulkan suatu budaya baru, dimana didalam budaya tersebut individu-individu yang hidup didalamnya lebih mengutamakan kecepatan, hasil kerja  dan cenderung kurang menghargai proses dan tidak ingin menjalani proses bahkan ingin menghilangkan proses tersebut. Budaya tersebut disebut sebagai budaya populer.

C.      Kebudayaan Populer Akar Budaya Instan
Kebudayaan populer muncul pada abad ke-19 dan awalnya ditujukan untuk pendidikan serta budaya masyarakat kelas rendah. Istilah ini dipakai untuk berposisi oposisional dari pendidikan dan budaya yang sejati yang saat itu hanya dijalankan pada kelompok menengah ke atas. Dalam perkembangannya, arti istilah ini bergeser menjadi budaya untuk konsumsi masyarakat secara luas. Kebudayaan populer adalah keseluruhan ide, perspektif, perilaku, gaya, gambaran, dan fenomena-fenomena lain yang menjadi preferensi sebagai hasil konsensus informal.
Budaya ini cenderung bersifat mudah, umum, dan sangat dipengaruhi media demi mendapat penerimaan masyarakat, sehingga dapat menembus bagian-bagian kecil dari kehidupan. Dewasa ini, budaya populer telah mendarah-daging dalam masyarakat kita melalui kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan, dimana membuat masyarakat menjadi konsumtif dan merusak nilai-nilai budaya yang ada sebelumnya dan membuat masyarakat lebih menginginkan suatu hal yang praktis dan mudah diperoleh secara cepat. Berkembangnya teknologi dan media mempercepat perluasan budaya ini karena setiap hari masyarakat disuguhi nilai-nilai budaya populer dalam berbagai kemasan yang cukup menarik dan mudah ditiru oleh masyarakat. Dari sinilah, lahir budaya instan yang cukup menggeser keberadaan nilai-nilai budaya nasional dalam masyarakat, dimana budaya-budaya asing dianggap lebih tinggi secara strata dibanding budaya asli daerah atau budaya nasional kita.

D.      Budaya Instan dan Korupsi
Budaya instan yang lahir dan berkembang seiring kemajuan teknologi dalam era globalisasi, menempatkan posisi bahwa apa yang tidak dikeluarkan oleh budaya ini sebagai produknya merupakan suatu hal yang ketinggalan zaman, dan ini ternyata diikuti oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi kaya dan mendapatkan berbagai hal yang menurut budaya instan sebagai produk budaya populer guna menjaga dan meningkatkan gengsinya.
Banyak kita lihat, anak-anak kecil sudah dibiasakan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan mudah dan cepat, baik dari pakaian, gadget dan fasilitas-fasilitas lainnya. Mungkin dalam satu sisi pendidikan, budaya instan ini sangat menguntungkan karena mempermudah mencari informasi guna pendidikan itu sendiri, tapi di sisi lain ini dapat membuat seseorang menjadi manja, dan memiliki rasa ego yang jauh lebih tinggi, dimana apa yang mereka inginkan, harus mereka dapatkan dengan menghalalkan berbagai cara. Beranjak dari hal ini, budaya instan ini dapat menyebabkan kebiasaan tidak jujur pada pribadi anak-anak, karena ingin mendapat nilai yang baik dalam pelajaran, mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan nilai tersebut, salah satunya dengan mencontek. Menurut G. W. Allport, psikolog USA, apabila hal ini diteruskan dan dibiasakan, maka dapat menimbulkan perilaku-perilaku menyimpang lainnya seperti korupsi, mereka karena ingin fasilitas yang terbaik dan tidak ingin kerja susah payah, mereka menghalalkan segala cara untuk meraihnya salah satunya dengan korupsi, karena sudah terbiasa dari kecil untuk mendapatkan sesuatu dengan instan dan tidak jujur. Sayangnya, hal ini didukung oleh kondisi masyarakat yang “sakit”, dimana melegalkan hal tersebut, atau menganggap wajar perilaku-perilaku menyimpang seperti perbuatan tidak jujur itu sendiri.
Contoh dalam kasus Proyek Hambalang, bola panas terebut menggelinding kepada Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mantan Menpora Andi dan Menkeu Agus selaku orang kepercayaan Presiden SBY dianggap ikut bertanggung jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran pada proyek pusat pembinaan olahraga nasional di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Demikian halnya, Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati dan mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto juga ikut bertanggung jawab. Sejumlah nama dari Kemenpora, Kemenkeu, Kementrian Pekerjaan Umum dan BPN juga dinyatakan ikut bertanggung jawab salah satunya mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam yang telah divonis tiga tahun penjara dalam kasus ini. Dalam Kompas 1 November 2012, disana disebutkan bahwa BPK menemukan tujuh indikasi penyimpangan dalam proyek Hambalang dengan nilai kerugian negara mencapai Rp243,66 miliar. Uang rakyat yang dikumpulkan dari pajak rakyat disedot untuk korupsi struktural elit politik dan pengusaha hitam. Hasil audit investigasi yang dilakukan BPK terhadap proyek pusat pembinaan olahraga nasional di Hambalang juga menemukan surat pelepasan hak atas tanah yang dipalsukan. Laporan hasil audit investigasi kasus Hambalang ini menyatakan penyimpangan dalam proyek tersebut adalah izin penetapan lokasi, izin site plan, dan IMB yang diberikan Pemerintah Kabupaten Bogor meski pun Kemenpora belum melakukan studi analisis mengenai dampak lingkungan terhadap proyek tersebut. Penetapan pemenang lelang konstruksi juga dilakukan pihak yang tidak berwenang tanpa memperoleh pendelegasian Menpora. Dan disini Menteri Keuangan Agus Martowardojo disangkutpautkan karena beliau menandatangani persetujuan multiyear (proyek besar tahun jamak) untuk proyek Hambalang.
Proyek Hambalang, suatu kasus kriminalitas kompleks yang terorganisasi hampir rapi dan dilakukan oleh orang-orang kerah putih sebagai suatu ketimpangan sosial, norma termasuk hukum yang berlaku dapat dipermainkan oleh orang-orang yang berkuasa. Walau kekuasaan dibatasi mandat tertentu tetapi celah penyimpangan yang dilegalkan bersama sangat berpeluang untuk terjadi, memungkinkan terjadinya korupsi.
Teori konflik sosial menjelaskan bahwa disini terdapat tiga pola dalam kasus Proyek Hambalang. Pola pertama, menjelaskan bahwa semua norma khususnya hukum di masyarakat secara umum merefleksikan kekuatan sang penguasa dan untuk mengejar tujuan tertentu dan lebih ditekankan pada kekayaan semata. Permasalahan izin lokasi, izin site plan, Izin Membangun Bangunan, bahkan pemalsuan surat pelepasan tanah dipermainkan oleh oknum-oknum yang memiliki jabatan atau kedudukan kekuasaan guna memperoleh keuntungan sendiri secara kolektif atau bersama-sama. Bila kita tinjau lebih dalam, Proyek Hambalang di Bogor tidak memenuhi syarat-syarat yang strategis dan ideal untuk dijadikan sebagai suatu gelanggang olahraga nasional, karena lahan Hambalang adalah lahan milik negara untuk area resapan air, akan tetapi tetap dipaksakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya, disini terlihat jelas bahwa proyek dari pemerintah kejar setoran dengan biaya anggaran yang besar sehingga setiap celah dan birokrasinya dapat dijadikan sebagai uang keuntungan bagi beberapa pihak khususnya mereka orang-orang yang berkuasa yang terlibat dalam proyek tersebut, baik itu uang pelicin atau pun juga pemalsuan besar detail anggaran. Dalam kasus ini pelanggaran tersebut dilakukan bersama karena ketertarikan atau minat pada uang atau harta kekayaan, baik itu Andi Alfian Mallarangeng mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto dan juga mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam. Selanjutnya, pola kedua menyatakan bahwa kekuasaan mempunyai sumber penghasilan yang resisten terhadap label-label penyimpangan sosial. Mayoritas para eksekutif atau orang-orang berkuasa yang tersangkut skandal, hanya beberapa saja yang masuk ke dalam penjara dan mendapatkan hukuman. Disini biasanya orang-orang yang berkuasa atau berkedudukan lebih tinggi tidak mau bertanggung jawab dan mengkambinghitamkan orang-orang yang kedudukannya lebih rendah dibawahnya untuk mencari jalur aman dari penegekan kebenaran hukum, dari nama-nama yang sudah tercantum tadi untuk kasus Proyek Hambalang baru Wafid Muharam, mantan Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga yang telah divonis tiga tahun penjara. Pola ketiga menyatakan bahwa kepercayaan yang tersebar luas mempercayai bahwa norma dan hukum itu alami dan sebagai topeng yang baik  untuk karakter politik para penguasa. Untuk alasan ini, walau pun para penguasa yang tersangkut skandal mendapatkan hukuman, tetapi kita dapat memberikan suatu persepektif bagaimana hukuman yang diberikan tersebut adil atau tidak. Ambil contoh saja seorang pencuri ayam yang dipukuli oleh warga hingga babak belur dan diproses hukum sehingga divonis penjara lima tahun dan kita bandingkan dengan mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam yang notabene seorang koruptor, seorang yang mengambil hak rakyat dan secara tidak langsung merugikan dan menyengsarakan rakyat, tetapi hanya divonis tiga tahun penjara tanpa hukuman berat dengan efek jera.
Disisi lain, sudah sangat jelas bahwa penyimpangan sosial seperti kasus Proyek Hambalang ini dilakukan oleh orang-orang yang berada di posisi sosial yang tinggi. Kriminalitas kerah putih tidak terang-terangan menggunakan kekerasan bahkan kontak fisik melawan penegak hukum dengan senjata, melainkan mereka menggunakan kekuasaan yang mereka dapatkan dari posisi pekerjaan mereka. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya hanya beberapa orang saja yang mendapatkan hukuman dan masuk ke dalam jeruji penjara, sisanya mereka dapat melenggang bebas dari hukuman karena permainan kekuasaan akibat kedudukan yang mereka miliki. Dan tindak kriminalitas ini tidak dilakukan sendiri saja, melainkan berjamaah untuk menentang hukum dengan salah satunya tindak korupsi.
Teori dasar Emile Durkheim menjelaskan bahwa suatu penyimpangan sosial menguatkan nilai budaya dan norma yang ada dalam masyarakat, dengan adanya kasus Proyek Hambalang ini kita menjadi lebih paham bagaimana korupsi sebagai penyimpangan sosial merupakan tindakan yang salah, sehingga memacu masyarakat untuk makin menggalakan suatu nilai kejujuran di segala aspek kehidupan, salah satu buktinya di media adalah dengan iklan layanan masyarakat tentang anti korupsi, berarti dengan adanya penyimpangan ini dijadikan sebagai suatu stimulus untuk menegakkan nilai-nilai moralitas. Masyarakat dengan jelas membuat garis batas antara yang benar dan salah, baik dan buruk dengan meninjau penyimpangan sosial yang ada, seperti kasus Proyek Hambalang yang sudah dijelaskan tadi.
Dalam teori Robert Merton, penyimpangan sosial menggabungkan pandangan berbagai orang untuk mencapai tujuan bersama, dalam kasus Proyek Hambalang ini orang-orang yang berkuasa membuat suatu organisasi yang melegalkan suatu penyimpangan sebagai nilai dan norma yang benar, dengan kata lain untuk mencapai kekayaan dapat menghalalkan segala cara, salah satunya dengan korupsi berjemaah, memanfaatkan Proyek Hambalang yang sebenarnya bila dilihat dari nilai fungsi pembangunannya tidak menguntungkan negara namun dijadikan celah keuntungan pribadi, dan bila kita lihat dengan pendekatan fungsional struktural penyimpangan sosial ini berlaku universal, tidak memandang siapa pelakunya, berasal dari elemen masyarakat yang seperti apa, karena semua masyarakat berpeluang melakukan penyimpangan sosial, baik dari orang yang berkedudukan yang lebih rendah seperti Wafid Muharam dan pada orang dengan kedudukannya yang lebih tinggi seperti Andi Alfian Mallangrangeng. Orang-orang yang berkedudukan dengan kuasa yang lebih rendah karena adanya kuasa yang lebih tinggi yang dianggap dapat melindungi mereka dari hukum bila mereka ketahuan melakukan penyimpangan sosial bersama-sama, mereka menjadi berani untuk melakukan penyimpangan sosial ini, padahal ini bukanlah jaminan untuk mereka kebal dari hukum, karena semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum seperti yang dijelaskan pada UUD 1945 pasal 27 tentang persamaan di hadapan hukum.



E.       Pancasila Filter Budaya
Kondisi mayarakat yang semakin memprihatinkan akibat pergeseran nilai-nilai budaya asli dengan budaya instan, sebenarnya dapat kita cegah dan kita atasi dengan Pancasila. Mengapa Pancasila? Karena Pancasila merupakan rumusan nilai-nilai luhur budaya asli Indonesia dan sejarah kepribadian bangsa yang sebenarnya relevan dan fleksibel terhadap perkembangan zaman. Pancasila dapat kita gunakan sebagai filter atau penyaring budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia termasuk budaya instan. Pancasila memuat nilai-nilai luhur baik agama, nasionalisme, persatuan, keadilan dan kemasyarakatan (humanisme), dimana sebenarnya mengajarkan kejujuran, gotong royong, disiplin, rasa loyalitas, totalitas dan masih banyak lagi terhadap apa yang kita butuhkan dan lakukan untuk mencapai apa yang kita inginkan dalam era globalisasi ini, sehingga kita dapat memilah dan memilih mana yang baik untuk diri kita dan mana yang buruk untuk perkembangan diri kita sendiri.
Pancasila seharusnya ditanamkan sejak dini oleh keluarga kepada anak, karena keluarga adalah pendidik yang pertama dan utama. Penanaman ini dapat dibiasakan dengan menghargai orang yang lebih tua, mengajarkan kejujuran, kesopanan baik dalam berkata dan bertingkah laku pada anak. Selain itu, di lingkungan sekolah pun seharusnya menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai produk budaya kearifan lokal tidak sebatas pada mata pelajaran di kelas, tetapi juga dalam suplemen-suplemen kegiatan siswa yang meliputi segala aspek dengan menekankan humanisme, dan sosial dalam suasana pengajaran yang saling asah, asih dan asuh, sehingga anak dapat terbiasa dengan nilai-nilai budaya aslinya baik dengan kegiatan homestay, retret, bakti sosial, dan juga ekstrakurikuler sekolah atau humaniora. Selain itu, pastinya semua ini tidak akan berjalan lancar bila tidak didukung oleh pemerintah melalui regulasi-regulasi dan kebijakan yang mengatur ini semua. Pemerintah seharusnya gencar mensosialisasikan dan menunjukan kebudayaan kita baik melalui pementasan atau acara apa pun dan dipaparkan nilai-nilai luhur apa saja yang terkandung di dalamnya, sehingga kita dapat meminimalisir budaya instan, produk dari budaya populer akibat era globalisasi. Ketika semua ini dijalankan, maka kondisi emosional dan mentalitas masyarakat pastinya akan membaik, ketika sudah dibiasakan untuk jujur dan masyarakat menganggap kejujuran itu sebagai hal yang lumrah dan sepatutnya ditegakkan, maka ketika ada yang tidak berbuat jujur, tidak akan ada toleransi terhadap penyimpangan tersebut, sehingga secara mental orang tersebut pun akan merasa bersalah dan tidak mungkin mengulanginya lagi. Karena ketidakjujuran bila dibiarkan dapat berkembang terus-menerus menjadi korupsi dan hal ini dapat berdampak luas tidak hanya satu dua orang, melainkan merugikan seluruh elemen masyarakat. Oleh sebab itu, marilah kita junjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita dapat memilah dan memilih mana budaya yang baik untuk perkembangan diri kita dan mana yang tidak baik untuk diri kita.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Globalisasi merupakan sebuah proses yang menyeluruh atau melingkupi seluruh dunia dimana batas negara, batas ruang dan batas waktu tidak menjadi suatu halangan lagi untuk mengetahui seluruh informasi yang ada dalam suatu kondisi dari suatu daerah atau tempat. Sayangnya, globalisasi ini menciptakan budaya populer, dimana semuanya serba cepat dan instan yang akhirnya melahirkan budaya instan yang secara mental tidak siap diterima oleh masyarakat di Indonesia.
Mentalitas yang buruk ini berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan tidak jujur yang sebenarnya menggeser nilai-nilai budaya asli (kearifan lokal). Ketidakjujuran yang menjangkit sejak kecil dapat berkembang menjadi sikap-sikap plagiatisme dan bahkan korupsi yang berdampak merugikan banyak pihak tidak hanya diri sendiri.

B.       Saran
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah, menyikapi dan mengatasi budaya instan ini sebagai dampak globalisasi adalah dengan menggunakan Pancasila, rangkuman nilai-nilai luhur budaya kita, sebagai filter, suatu penyaring sehingga kita dapat memilah dan memilih budaya yang masuk dan dapat kita ambil nilai-nilai positifnya saja yang berguna untuk kebutuhan kehidupan kita. Disini berarti diperlukan peranan keluarga sebagai pendidik pertama dan utama untuk menanamkan nilai-nilai kepancasilaan sejak dini, peran lingkungan bermain dan sekolah sebagai kontrol sosial, dan peranan pemerintah dalam regulasi dan mendukung budaya kita sendiri agar tidak mati terlindas oleh zaman.



DAFTAR PUSTAKA

Kompas edisi 1 November 2012. Kasus Hambalang. 8 Januari 2013.

Hasan, Sandi Suwardi. 2011. Pengantar Cultural Studies: Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Hirst, P. & Thompson, G. 1997. Globalization in Questions. Cambridge: Polity Press.

Inlah. 2012. Korupsi Berjemaah. 8 Januari 2013. http://www.waspada.co.id

Macionis, John J. 2012. Socilogy Fourteenth Edition. USA: Pearson Education.

McMgrew, A. 1992. Conceptualising Global Politics. Cambridge: Polity Press.

Meinarno, Eko A., Bambang Widianto, & Rizka Halida. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta: Salemba Humanika.


Tomlinson, J. 1999. Globalization and Culture. Chicago: University of Chicago Press.