BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dewasa
ini, perubahan perkembangan dunia semakin canggih, semakin cepat, semakin
modern, tapi juga semakin tidak terkontrol dan semakin menuju ke arah yang
lebih modern. Zaman yang berkembang pesat ini tidak dapat dihindari oleh
siapapun, oleh negara manapun dan dapat mempengaruhi setiap negara dan individu
yang mengikutinya. Perkembangan yang terjadi ini membuat dunia semakin tidak
terbatas, semakin kecil dan semakin dapat diketahui isi dari dunia ini. Dunia
kini semakin seperti sebuah perkampungan, dimana bila ada sebuah informasi baru
muncul, maka dalam hitungan jam bahkan detik sudah dapat menyebar hingga seluruh
dunia. Tidak ada pembatasnya, tidak ada penghalangnya, tidak ada rintangannya
dan kemajuannya tersebut sangatlah pesat. Kemajuan inilah yang dapat disebut
sebagai “Globalisasi”.
Globalisasi
tidak bisa dipungkiri lagi kini menjadi fenomena baru setelah kemunculannya
pada akhir abad ke-20. Globalisasi kini sudah menjalar keseluruh aspek kehidupan,
tidak hanya didalam aspek-aspek kehidupan individu saja tapi juga aspek
kehidupan didalam masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan perkembangan
sistem informasi merupakan salah satu faktor yang mendukung perkembangan
globalisasi.
Globalisasi
selain merupakan perkembangan yang memodernkan, juga dapat disebut sebagai
sebuah masalah. Globalisasi bisa disebut sebagai sebuah permasalahan karena
dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan zaman, terjadi perubahan dan
transformasi dari sebuah peradaban berkembang menjadi sebuah peradaban yang
modern, tentu akan membutuhkan sebuah adaptasi yang bisa menjadi sebuah masalah
serius bila gagal dihadapi. Globalisasi menjadi sebuah tantangan untuk dihadapi
dan dipecahkan, dalam upaya untuk mengambil dampak positif dalam penggunaannya
dalam kehidupan ini.
Terlepas
dari globalisasi yang sangat berpengaruh dalam kehidupan di masyarakat, tentu
bila dikaji lebih jauh, dengan adanya globalisasi, semua hal di dunia dapat
saling terhubung satu sama lain dengan baik, dimana batas ruang dan waktu bukan
menjadi sebuah penghalang seperti yang diungkapkan diatas itu. Segala hal bebas
keluar masuk dalam suatu negara, tentu tidak hanya barang dan jasa saja yang
bergerak, namun juga bagaimana pendidikan, pola pikir, kebudayaan, pola
konsumsi dan lain-lain. Hal inilah yang tentu mengakibatkan akan ada sebuah
pergesaran atau perubahan yang sangat terlihat nyata, yaitu pergeseran perilaku
manusia, pergeseran atau perubahan suatu sistem yang berkembang suatu negara
atau masyarakat, dan perubahan nilai kebudayaan yang ada dalam suatu
masyarakat.
Pergeseran
nilai budaya atau sistem yang ada didalam masyarakat tersebut tidak terjadi
secara langsung, tapi dengan bertahap dan teratur. Pada kondisi awal,
masyarakat yang mengalami pergeseran perilaku dan nilai budaya ini tidak akan
menyadarinya, tapi bila budaya sudah menyimpang jauh dari kebudayaan atau
perilaku asalnya, maka hal tersebut akan makin jelas terasa dan makin terlihat
efek dan dampaknya. Contoh saja, dengan berkembangnya teknologi dan sistem
informasi, seperti laptop, internet, handphone dan lain-lain, mengakibatkan
masyarakat justru lebih senang menyibukkan diri dengan perkembangan tersebut
dan cenderung menjadi lebih anti sosial dibanding sebelum adanya hal-hal
tersebut. Tentu, dapat terlihat jelas di tempat umum seperti di dalam kendaraan
umum, di taman, di jalan raya, hampir semua masyarakat lebih menikmati gadget
daripada melihat ke sekeliling atau berinteraksi satu sama lain. Di Indonesia
sendiri, pemandangan seperti itu sering terjadi. Di daerah Jawa, yang terkenal
ramah dan suka menyapa pun seperti hidup dalam dunianya sendiri,
individualistik, dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitar.
Contoh
lainnya adalah dengan berkembangnya nilai budaya instan, apa itu budaya instan?
Budaya yang segalanya ingin mudah dan tidak repot. Di zaman globalisasi seperti
ini, kebutuhan akan sesuatu yang siap dan cepat tersaji meningkat pesat daripada
zaman zaman sebelumnya. Di zaman ini, semua manusia mempunyai teknologi yang
canggih, teknologi yang tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan teknologi
tersebut, manusia atau individu cenderung ingin mengerjakan dan atau
mendapatkan hasil sesuatu dengan instan. Memang benar, pada dasarnya tidak
salah hal tersebut terjadi, karena industri meminta hasil yang banyak ditengah
keterbatasan waktu sehingga manusia memanfaatkan teknologi yang ada tersebut
untuk memenuhi ekspetasi kebutuhan pasar dari industri tersebut, tapi
belakangan ini justru terjadi penyalahgunaan dari kelebihan teknologi tersebut.
Fenomena yang terjadi justru adanya kegiatan copy-paste atau biasa dikenal dengan sebutan plagiatisme, kemudian
disalahgunakan untuk mencontek ketika ujian, dan lain-lain. Ini membuktikan
bahwa budaya yang ada sudah mengalami perubahan atau pergeseran yang cukup
signifikan sehingga perlu adanya pencegahan-pencegahan atau pemberhentian hal-hal
semacam ini yang dapat menimbulkan budaya yang buruk.
B.
Rumusan
Masalah
Globalisasi
sudah menjadi fenomena pada tahun 2000 atau awal abad ke-21 atau akhir abad ke-20,
hal ini menunjukkan bahwa globalisasi merupakan sebuah fenomena yang mendunia,
bukan hanya berpengaruh pada satu dua negara saja. Dari sebuah fenomena, tentu
selalu menimbulkan dampak positif dan negatif, globalisasi sebagaimanapun
memberikan efek positif, tentu juga memberikan efek negatif. Dari sisi
kebudayaan, globalisasi juga memberikan sumbangsihnya dalam terjadi pergeseran
nilai-nilai budaya terlebih dengan budaya tradisional yang ada di Indonesia
khususnya budaya tradisional Jawa. Disini penulis ingin membahas:
1. Bagaimana
dampak globalisasi terhadap pergeseran nilai kebudayaan sehingga memunculkan
budaya baru yaitu budaya instan?
2. Bagaimana
kita harus mencegah, menyikapi dan mengatasi pergeseran nilai-nilai budaya
kearifan lokal akibat globalisasi khususnya ancaman budaya instan?
C.
Tujuan
Berdasarkan
permasalahan yang penulis rumuskan, maka beberapa hal yang ingin penulis raih
adalah sebagai berikut:
1. Memahami
globalisasi.
2. Memahami
dampak dari globalisasi.
3. Memahami
perubahan nilai budaya tradisional yang berkembang di Indonesia.
4. Memahami
cara untuk mencegah, menyikapi dan mengatasi pergeseran nilai-nilai budaya
kearifan lokal akibat globalisasi khususnya ancaman budaya instan.
D.
Pembatasan
Masalah
Untuk menghindari perluasan pembahasan,
maka penulis membatasi permasalahan yang ada sebagai berikut: masalah yang
dibahas merupakan dampak mendasar dari globalisasi, pergeseran nilai budaya
nasional Indonesia (kearifan lokal) lebih ditekankan pada kasus kejujuran,
kaitannya dengan plagiatisme hingga korupsi, dan solusi yang kami tawarkan
beranjak dari budaya kehidupan mentalitas psikologis bangsa Indonesia yaitu
Pancasila.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Globalisasi
Banyak pandangan
tokoh mengenai apa itu globalisasi karena pada dasarnya globalisasi memiliki
penafsiran yang berbeda-beda tergantung dari para tokoh tersebut mengambil
sudut pandang, megungkapkan permasalahan dan hal yang dibahasnya, sehingga
muncul berbagai definisi globalisasi. Mengutip beberapa definisi dari beberapa
tokoh, seperti Giddens (1990), mengatakan bahwa globalisasi merupakan
intensifikasi relasi sosial di seluruh dunia yang menghubungkan daerah jarak
sedemikian rupa sehingga seperti kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa yang
terjadi bermil-mil dan sebaliknya. Kemudian ada juga definisi dari seorang Anthony
McGrew (1992) yaitu proses sejarah yang melibatkan pergeseran mendasar dan
transformasi dalam skala spasial dari organisasi sosial manusia yang
menghubungkan jarak diantara masyarakat
dan memperluas jangkauan relasi kekuasaan antar daerah dan benua.
Pendapat lainnya lagi, berasal dari seorang Barret (1991) globalisasi paling
baik dipahami sebagai penutup legitimasi atau ideologi, seperangkat gagasan
yang mendistorsi realitas sehingga untuk melayani kepentingan tertentu. Menurut
Roland Robertson (1990), globalisasi adalah “kristalisasi dari seluruh dunia
sebagai satu tempat”. Menurut Kamus Ilmu Sosial (Calhoun, 2002: 192) menawarkan
konsep berikut: globalisasi adalah penggabungan semua istilah untuk perluasan
beragam bentuk kegiatan ekonomi, politik, dan budaya di luar perbatasan
nasional.
Beberapa
pendapat tersebut sepertinya belum cukup untuk memahami arti penting dari
globalisasi, karena pada dasarnya, globalisasi sendiri memiliki pengertian yang
berbeda-beda, tergantung dari konteks dan dimensi ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan definisi globalisasi itu sendiri. Namun, merujuk pada arti kata
globalisasi sendiri, kita dapat memiliki gambaran tentang apa itu globalisasi.
Menurut asal katanya, globalisasi berasal dari kata “global” yang memiliki arti
menyeluruh atau menyebar. Jadi, bila diambil dari kata dasar global tersebut,
maka globalisasi memiliki arti proses penyeluruhan atau proses peleburan
menjadi satu. Hal ini dapat digambarkan bahwa globalisasi merupakan sebuah
proses yang menyeluruh atau melingkupi seluruh dunia dimana batas negara, batas
ruang dan batas waktu tidak menjadi suatu halangan lagi untuk mengetahui
seluruh informasi yang ada dalam suatu kondisi dari suatu daerah atau tempat.
B.
Dampak
Globalisasi
Pada
dasarnya, globalisasi mempunyai peran penting dalam perkembangannya di dunia
ini. Menurut Schirato dan Webb (2003: 199) melihat globalisasi sebagai rezim
diskursif, semacam mesin yang memakan siapa pun dan apa pun di jalan hadapan
mereka tanpa memandang bulu. Mereka berpendapat bahwa fungsi globalisasi
sebagai serangkaian teks, ide, tujuan, nilai, narasi, disposisi dan larangan,
template benar untuk pemesanan dan evaluasi kegiatan, yang "diisi"
atau infleksi dengan kepentingan siapa pun dapat mengaksesnya.
(Schirato
dan Webb, 2003: 200).
Melihat
pentingnya peran globalisasi pada era ini, tentunya juga akan menghasilkan dampak,
tidak terkecuali seluruh aspek kehidupan. Terdapat banyak dampak globalisasi,
baik dampak positif maupun dampak negatif. Secara umum, globalisasi memberikan
dampak positif sebagai berikut:
1. Teknologi
semakin canggih
Globalisasi
mengakibatkan munculnya ide-ide tentang teknologi baru, karena dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan informasi membuat setiap individu dapat
mengetahui cara terbaru atau langkah-langkah terbaru atau langkah-langkah
membuat teknologi yang baik dan benar sehingga tipa-tiap individu bersaing
secara sendirinya untuk menghasilkan alat-alat teknologi yang canggih.
2. Mudah
memperoleh ilmu pengetahuan dan informasi
Informasi dan ilmu
pengetahuan dapat tersebar secara cepat berkat adanya teknologi yang canggih,
dengan teknologi yang canggih, maka semakin mudah mendapat informasi dan ilmu
pengetahuan, misal saja dengan adanya internet, maka kita tidak perlu susah
susah mencari informasi atau ilmu pengetahuan yang tidak ada didalam buku yang
kita punya.
3. Munculnya
pasar persaingan secara global
Tidak terbatas tempat
dan waktu serta dengan adanya informasi yang terbaru mengenai tentang sesuatu
dan adanya teknologi yang canggih maka pasar persaingan global bukan hal yang
mustahil untuk dilakukan, contoh dengan mengetahui keadaan dan daya saing mobil
Lamborgini di pasar bebas misal di Indonesia, tentu akan memudahkan perusahaan Lamborghini
untuk mengeluarkan dan menyediakan kebutuhan mobil yang diinginkan dan sesuai
dengan keadaan di Indonesia. Hal tersebut terjadi bila perusahaan Lamborghini ini
mempunyai info tentang Indonesia, mengerti kebutuhan mobil yang diperlukan di
Indonesia, memiliki teknologi pegiriman mobil yang canggih sehingga tidak
memakan waktu lama untuk mengantarkannya ke Indonesia.
4. Tidak
terbatas ruang dan waktu
Dengan tidak adanya
batas-batas negara untuk masalah teknologi, mengakibatkan informasi bebas
keluar masuk dalam sebuah negara dengan legal, sehingga tidak hambatan untuk
mengetahui dan mengerti tentang suatu kejadian atau peristiwa terbaru yang
terjadi sehingga tidak tertinggal berita dan dapat tetap update mengenai masalah-masalah dan peristiwa terbaru.
5. Semakin
mudah melakukan komunikasi antar negara
Dengan berkembangnya
teknologi tentu membuat komunikasi antar negara lebih mudah, dengan adanya
teknologi terbaru tentu memudahkan beberapa negara untuk berkomunikasi dan
menjalin hubungan dengan baik dan lebih baik lagi, tetapi bisa juga
mengakibatkan hubungan yang tidak baik pula. Dan semuanya menjadi lebih mudah
dan gampang setelah adanya teknologi yang canggih.
6. Semakin
mudah mendapatkan kebutuhan
Dengan canggihnya
teknologi dan mempunyai sumber informasi yang terbaru dan terpercaya, setiap
individu dapat memperoleh kebutuhan yang dibutuhkan dengan mudah, dari
kebutuhan primer, sekunder hingga tersier kini sudah dapat didapatkan dengan
bermodal teknologi canggih dan informasi yang akurat, selain itu, dengan adanya
pasar persaingan global membuat setiap individu mendapatkan kebutuhannya sesuai
dengan yang dibutuhkan dan diinginkan.
Keenamnya saling berkaitan dan saling berpengaruh
satu sama lain sehingga tidak dapat dilepaskan kaitannya masing-masing. Keenam
dampak ini sangat dominan dan tidak dapat diabaikan, karena bila diabaikan
tentu dampak-dampak yang lainnya juga akan muncul atau ada. Karena itu, keenam
hal tersebut saling berkaitan dan terikat satu sama lain. Namun, dibalik semua
dampak positifnya, justru timbul dampak negatif, antara lain:
1. Meningkatnya
kesenjangan sosial
Walaupun sebelum adanya
globalisasi kesenjangan sosial sudah ada, tetapi dengan adanya globalisasi
justru menambah dan memperparah kesenjangan sosial yang sudah ada. Dengan
adanya pasar persaingan secara bebas maka memperparah kesenjangan sosial,
dimana dapat saja terjadi monopoli barang dan mengakibatkan perusahaan saingan
bangkrut. Begitu pula dengan semua dampak positif lainnya, hal tersebut bisa
saja menghasilkan kesenjangan yang lebih parah dan membahayakan.
2. Munculnya
sikap individualistik
Sikap individualistik
muncul dengan adanya globalisasi ini, karena munculnya pasar persaingan bebas
dimana kebutuhan tiap individu meningkat dan tentunya membutuhkan pemasukan
yang besar pula, sehingga untuk mencukupi dan mendapatkan pemasukan yang lebih besar
tersebut setiap individu berusaha untuk menentukan dan mendapatkan pekerjaan
dan menambah pemasukan yang besar atau banyak sehingga memunculkan persaingan
di tiap individu yang akhirnya saling menjatuhkan dan saling bersaing secara
tidak sehat untuk mendapatkan pekerjaan dengan hasil yang memuaskan atau pendapatan
sampingan yang lebih besar. Selain itu, dengan adanya globalisasi memungkinkan
terjadinya peleburan atau peniruan budaya dimana budaya barat yang menjadi
bahan percontohan justru memiliki budaya individualistik yang sangat tinggi
dibandingkan budaya masyarakat timur.
3. Tuntutan
kerja tinggi
Tuntutan kerja yang
tinggi muncul karena adanya persaingan di bidang teknologi dan ekonomi yang
sangat ketat yang mengakibatkan pegawai atau pekerja dituntut untuk mengeluarkan
tenaga yang lebih besar dibanding dengan upah atau gaji yang didapatkan. Selain
itu, dengan adanya ketidak-terbatasan ruang dan waktu mengakibatkan daya saing
pekerja lebih banyak, tidak hanya pekerja yang berada di dalam suatu daerah
saja, tapi juga bersaing dengan pekerja yang berasal dari luar daerah bahkan
luar negeri. Hal ini pulalah yang mengakibatkan kesenjangan sosial yang besar.
4. Masuknya
berbagai kebudayaan luar
Dengan
ketidakterbatasan waktu dan ruang mengakibatkan masuknya berbagai kebudayaan
dari luar negeri yang sangat banyak dan masuk ke dalam negeri. Hal ini diperparah dengan tidak
adanya penyaringan terlebih dahulu budaya luar negeri yang masuk dan diterima
secara mentah-mentah. Hal inilah yang mengakibatkan lunturnya bahkan hilangnya
budaya dalam negeri karena tidak ada saringan atau seleksi dari masyarakat terhadap
budaya yang masuk.
5. Meningkatnya
pragmatisme
Pragmatisme merupakan
sebuah pandang dimana benar dan salah dilihat dari kegunaan atau nilai manfaat sesuatu.
Individu kini banyak yang memilih cara ini, tidak ada lagi kesetiaan atau loyalitas,
lunturnya patriotisme, semua bergantung pada mana yang menguntungkan atau
merugikannya sesuatu hal, dan setiap individu bahkan mau meninggalkan
kebudayaannya sendiri demi mendapatkan apa yang menjadi keinginan dan
kebutuhannya atau dengan kata lain mana yang menguntungkan itulah yang dituju.
6. Munculnya
budaya plagiatisme
Dengan tingginya
tuntutan kerja membuat beberapa individu melakukan hal-hal curang untuk
memenuhi tuntutan kerja tersebtu seperti mencontek, plagiatisme dan lain lain.
Plagiatisme sendiri kini menjadi sudah menjadi budaya yang cukup merepotkan dan
mengesalkan sehingga dibuatlah UU tentang hak cipta untuk menghindari
plagiatisme.
Keenam dampak positif dan negatif tersebut sudah
menyebar di dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi untuk negara yang sedang
berkembang seperti di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan pola perilaku yang ada didalam masyarakat indonesia.
Menilik dampak-dampak yang dihasilkan dari efek globalisasi tersebut,
sebenarnya dapat ditarik benang merahnya, bahwa dengan adanya dampak-dampak
tersebut akan menimbulkan suatu budaya baru, dimana didalam budaya tersebut
individu-individu yang hidup didalamnya lebih mengutamakan kecepatan, hasil
kerja dan cenderung kurang menghargai
proses dan tidak ingin menjalani proses bahkan ingin menghilangkan proses
tersebut. Budaya tersebut disebut sebagai budaya populer.
C.
Kebudayaan
Populer Akar Budaya Instan
Kebudayaan
populer muncul pada abad ke-19 dan awalnya ditujukan untuk pendidikan serta
budaya masyarakat kelas rendah. Istilah ini dipakai untuk berposisi oposisional
dari pendidikan dan budaya yang sejati yang saat itu hanya dijalankan pada
kelompok menengah ke atas. Dalam perkembangannya, arti istilah ini bergeser
menjadi budaya untuk konsumsi masyarakat secara luas. Kebudayaan populer adalah
keseluruhan ide, perspektif, perilaku, gaya, gambaran, dan fenomena-fenomena
lain yang menjadi preferensi sebagai hasil konsensus informal.
Budaya
ini cenderung bersifat mudah, umum, dan sangat dipengaruhi media demi mendapat
penerimaan masyarakat, sehingga dapat menembus bagian-bagian kecil dari
kehidupan. Dewasa ini, budaya populer telah mendarah-daging dalam masyarakat
kita melalui kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan, dimana membuat masyarakat
menjadi konsumtif dan merusak nilai-nilai budaya yang ada sebelumnya dan
membuat masyarakat lebih menginginkan suatu hal yang praktis dan mudah
diperoleh secara cepat. Berkembangnya teknologi dan media mempercepat perluasan
budaya ini karena setiap hari masyarakat disuguhi nilai-nilai budaya populer
dalam berbagai kemasan yang cukup menarik dan mudah ditiru oleh masyarakat.
Dari sinilah, lahir budaya instan yang cukup menggeser keberadaan nilai-nilai budaya
nasional dalam masyarakat, dimana budaya-budaya asing dianggap lebih tinggi
secara strata dibanding budaya asli daerah atau budaya nasional kita.
D.
Budaya
Instan dan Korupsi
Budaya instan
yang lahir dan berkembang seiring kemajuan teknologi dalam era globalisasi,
menempatkan posisi bahwa apa yang tidak dikeluarkan oleh budaya ini sebagai
produknya merupakan suatu hal yang ketinggalan zaman, dan ini ternyata diikuti
oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, banyak orang yang
berlomba-lomba untuk menjadi kaya dan mendapatkan berbagai hal yang menurut
budaya instan sebagai produk budaya populer guna menjaga dan meningkatkan
gengsinya.
Banyak kita
lihat, anak-anak kecil sudah dibiasakan untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan dengan mudah dan cepat, baik dari pakaian, gadget dan fasilitas-fasilitas lainnya. Mungkin dalam satu sisi
pendidikan, budaya instan ini sangat menguntungkan karena mempermudah mencari
informasi guna pendidikan itu sendiri, tapi di sisi lain ini dapat membuat
seseorang menjadi manja, dan memiliki rasa ego yang jauh lebih tinggi, dimana
apa yang mereka inginkan, harus mereka dapatkan dengan menghalalkan berbagai
cara. Beranjak dari hal ini, budaya instan ini dapat menyebabkan kebiasaan
tidak jujur pada pribadi anak-anak, karena ingin mendapat nilai yang baik dalam
pelajaran, mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan nilai tersebut,
salah satunya dengan mencontek. Menurut G. W. Allport, psikolog USA, apabila
hal ini diteruskan dan dibiasakan, maka dapat menimbulkan perilaku-perilaku
menyimpang lainnya seperti korupsi, mereka karena ingin fasilitas yang terbaik
dan tidak ingin kerja susah payah, mereka menghalalkan segala cara untuk
meraihnya salah satunya dengan korupsi, karena sudah terbiasa dari kecil untuk
mendapatkan sesuatu dengan instan dan tidak jujur. Sayangnya, hal ini didukung
oleh kondisi masyarakat yang “sakit”, dimana melegalkan hal tersebut, atau
menganggap wajar perilaku-perilaku menyimpang seperti perbuatan tidak jujur itu
sendiri.
Contoh dalam
kasus Proyek Hambalang, bola panas terebut menggelinding kepada Menteri
Keuangan Agus Martowardojo dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian
Mallarangeng. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mantan Menpora
Andi dan Menkeu Agus selaku orang kepercayaan Presiden SBY dianggap ikut
bertanggung jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran pada proyek pusat
pembinaan olahraga nasional di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Demikian halnya,
Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati dan mantan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Joyo Winoto juga ikut bertanggung jawab. Sejumlah nama dari Kemenpora,
Kemenkeu, Kementrian Pekerjaan Umum dan BPN juga dinyatakan ikut bertanggung
jawab salah satunya mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam yang telah
divonis tiga tahun penjara dalam kasus ini. Dalam Kompas 1 November 2012,
disana disebutkan bahwa BPK menemukan tujuh indikasi penyimpangan dalam proyek
Hambalang dengan nilai kerugian negara mencapai Rp243,66 miliar. Uang rakyat
yang dikumpulkan dari pajak rakyat disedot untuk korupsi struktural elit
politik dan pengusaha hitam. Hasil audit investigasi yang dilakukan BPK
terhadap proyek pusat pembinaan olahraga nasional di Hambalang juga menemukan surat
pelepasan hak atas tanah yang dipalsukan. Laporan hasil audit investigasi kasus
Hambalang ini menyatakan penyimpangan dalam proyek tersebut adalah izin
penetapan lokasi, izin site plan, dan IMB yang diberikan Pemerintah Kabupaten
Bogor meski pun Kemenpora belum melakukan studi analisis mengenai dampak
lingkungan terhadap proyek tersebut. Penetapan pemenang lelang konstruksi juga
dilakukan pihak yang tidak berwenang tanpa memperoleh pendelegasian Menpora.
Dan disini Menteri Keuangan Agus Martowardojo disangkutpautkan karena beliau
menandatangani persetujuan multiyear (proyek besar tahun jamak) untuk proyek
Hambalang.
Proyek
Hambalang, suatu kasus kriminalitas kompleks yang terorganisasi hampir rapi dan
dilakukan oleh orang-orang kerah putih sebagai suatu ketimpangan sosial, norma
termasuk hukum yang berlaku dapat dipermainkan oleh orang-orang yang berkuasa.
Walau kekuasaan dibatasi mandat tertentu tetapi celah penyimpangan yang
dilegalkan bersama sangat berpeluang untuk terjadi, memungkinkan terjadinya korupsi.
Teori konflik
sosial menjelaskan bahwa disini terdapat tiga pola dalam kasus Proyek
Hambalang. Pola pertama, menjelaskan bahwa semua norma khususnya hukum di
masyarakat secara umum merefleksikan kekuatan sang penguasa dan untuk mengejar
tujuan tertentu dan lebih ditekankan pada kekayaan semata. Permasalahan izin
lokasi, izin site plan, Izin Membangun Bangunan, bahkan pemalsuan surat
pelepasan tanah dipermainkan oleh oknum-oknum yang memiliki jabatan atau
kedudukan kekuasaan guna memperoleh keuntungan sendiri secara kolektif atau
bersama-sama. Bila kita tinjau lebih dalam, Proyek Hambalang di Bogor tidak
memenuhi syarat-syarat yang strategis dan ideal untuk dijadikan sebagai suatu
gelanggang olahraga nasional, karena lahan Hambalang adalah lahan milik negara
untuk area resapan air, akan tetapi tetap dipaksakan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunannya, disini terlihat jelas bahwa proyek dari pemerintah
kejar setoran dengan biaya anggaran yang besar sehingga setiap celah dan
birokrasinya dapat dijadikan sebagai uang keuntungan bagi beberapa pihak
khususnya mereka orang-orang yang berkuasa yang terlibat dalam proyek tersebut,
baik itu uang pelicin atau pun juga pemalsuan besar detail anggaran. Dalam
kasus ini pelanggaran tersebut dilakukan bersama karena ketertarikan atau minat
pada uang atau harta kekayaan, baik itu Andi Alfian Mallarangeng mantan Menteri
Pemuda dan Olahraga, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Wakil Menteri Keuangan
Anny Ratnawati, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto dan juga
mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam. Selanjutnya, pola kedua menyatakan
bahwa kekuasaan mempunyai sumber penghasilan yang resisten terhadap label-label
penyimpangan sosial. Mayoritas para eksekutif atau orang-orang berkuasa yang
tersangkut skandal, hanya beberapa saja yang masuk ke dalam penjara dan
mendapatkan hukuman. Disini biasanya orang-orang yang berkuasa atau
berkedudukan lebih tinggi tidak mau bertanggung jawab dan mengkambinghitamkan
orang-orang yang kedudukannya lebih rendah dibawahnya untuk mencari jalur aman
dari penegekan kebenaran hukum, dari nama-nama yang sudah tercantum tadi untuk
kasus Proyek Hambalang baru Wafid Muharam, mantan Sekretaris Kementrian Pemuda
dan Olahraga yang telah divonis tiga tahun penjara. Pola ketiga menyatakan
bahwa kepercayaan yang tersebar luas mempercayai bahwa norma dan hukum itu
alami dan sebagai topeng yang baik untuk
karakter politik para penguasa. Untuk alasan ini, walau pun para penguasa yang
tersangkut skandal mendapatkan hukuman, tetapi kita dapat memberikan suatu
persepektif bagaimana hukuman yang diberikan tersebut adil atau tidak. Ambil
contoh saja seorang pencuri ayam yang dipukuli oleh warga hingga babak belur
dan diproses hukum sehingga divonis penjara lima tahun dan kita bandingkan
dengan mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam yang notabene seorang
koruptor, seorang yang mengambil hak rakyat dan secara tidak langsung merugikan
dan menyengsarakan rakyat, tetapi hanya divonis tiga tahun penjara tanpa
hukuman berat dengan efek jera.
Disisi lain,
sudah sangat jelas bahwa penyimpangan sosial seperti kasus Proyek Hambalang ini
dilakukan oleh orang-orang yang berada di posisi sosial yang tinggi.
Kriminalitas kerah putih tidak terang-terangan menggunakan kekerasan bahkan
kontak fisik melawan penegak hukum dengan senjata, melainkan mereka menggunakan
kekuasaan yang mereka dapatkan dari posisi pekerjaan mereka. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya hanya beberapa orang saja yang mendapatkan hukuman dan
masuk ke dalam jeruji penjara, sisanya mereka dapat melenggang bebas dari
hukuman karena permainan kekuasaan akibat kedudukan yang mereka miliki. Dan
tindak kriminalitas ini tidak dilakukan sendiri saja, melainkan berjamaah untuk
menentang hukum dengan salah satunya tindak korupsi.
Teori dasar
Emile Durkheim menjelaskan bahwa suatu penyimpangan sosial menguatkan nilai
budaya dan norma yang ada dalam masyarakat, dengan adanya kasus Proyek
Hambalang ini kita menjadi lebih paham bagaimana korupsi sebagai penyimpangan
sosial merupakan tindakan yang salah, sehingga memacu masyarakat untuk makin
menggalakan suatu nilai kejujuran di segala aspek kehidupan, salah satu
buktinya di media adalah dengan iklan layanan masyarakat tentang anti korupsi,
berarti dengan adanya penyimpangan ini dijadikan sebagai suatu stimulus untuk
menegakkan nilai-nilai moralitas. Masyarakat dengan jelas membuat garis batas
antara yang benar dan salah, baik dan buruk dengan meninjau penyimpangan sosial
yang ada, seperti kasus Proyek Hambalang yang sudah dijelaskan tadi.
Dalam teori Robert
Merton, penyimpangan sosial menggabungkan pandangan berbagai orang untuk
mencapai tujuan bersama, dalam kasus Proyek Hambalang ini orang-orang yang
berkuasa membuat suatu organisasi yang melegalkan suatu penyimpangan sebagai
nilai dan norma yang benar, dengan kata lain untuk mencapai kekayaan dapat
menghalalkan segala cara, salah satunya dengan korupsi berjemaah, memanfaatkan
Proyek Hambalang yang sebenarnya bila dilihat dari nilai fungsi pembangunannya
tidak menguntungkan negara namun dijadikan celah keuntungan pribadi, dan bila
kita lihat dengan pendekatan fungsional struktural penyimpangan sosial ini
berlaku universal, tidak memandang siapa pelakunya, berasal dari elemen
masyarakat yang seperti apa, karena semua masyarakat berpeluang melakukan penyimpangan
sosial, baik dari orang yang berkedudukan yang lebih rendah seperti Wafid
Muharam dan pada orang dengan kedudukannya yang lebih tinggi seperti Andi
Alfian Mallangrangeng. Orang-orang yang berkedudukan dengan kuasa yang lebih
rendah karena adanya kuasa yang lebih tinggi yang dianggap dapat melindungi
mereka dari hukum bila mereka ketahuan melakukan penyimpangan sosial
bersama-sama, mereka menjadi berani untuk melakukan penyimpangan sosial ini,
padahal ini bukanlah jaminan untuk mereka kebal dari hukum, karena semua orang
berkedudukan sama di hadapan hukum seperti yang dijelaskan pada UUD 1945 pasal
27 tentang persamaan di hadapan hukum.
E.
Pancasila
Filter Budaya
Kondisi
mayarakat yang semakin memprihatinkan akibat pergeseran nilai-nilai budaya asli
dengan budaya instan, sebenarnya dapat kita cegah dan kita atasi dengan
Pancasila. Mengapa Pancasila? Karena Pancasila merupakan rumusan nilai-nilai
luhur budaya asli Indonesia dan sejarah kepribadian bangsa yang sebenarnya
relevan dan fleksibel terhadap perkembangan zaman. Pancasila dapat kita gunakan
sebagai filter atau penyaring budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia
termasuk budaya instan. Pancasila memuat nilai-nilai luhur baik agama,
nasionalisme, persatuan, keadilan dan kemasyarakatan (humanisme), dimana
sebenarnya mengajarkan kejujuran, gotong royong, disiplin, rasa loyalitas,
totalitas dan masih banyak lagi terhadap apa yang kita butuhkan dan lakukan
untuk mencapai apa yang kita inginkan dalam era globalisasi ini, sehingga kita
dapat memilah dan memilih mana yang baik untuk diri kita dan mana yang buruk
untuk perkembangan diri kita sendiri.
Pancasila
seharusnya ditanamkan sejak dini oleh keluarga kepada anak, karena keluarga
adalah pendidik yang pertama dan utama. Penanaman ini dapat dibiasakan dengan
menghargai orang yang lebih tua, mengajarkan kejujuran, kesopanan baik dalam
berkata dan bertingkah laku pada anak. Selain itu, di lingkungan sekolah pun
seharusnya menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai produk budaya kearifan
lokal tidak sebatas pada mata pelajaran di kelas, tetapi juga dalam
suplemen-suplemen kegiatan siswa yang meliputi segala aspek dengan menekankan
humanisme, dan sosial dalam suasana pengajaran yang saling asah, asih dan asuh,
sehingga anak dapat terbiasa dengan nilai-nilai budaya aslinya baik dengan
kegiatan homestay, retret, bakti sosial, dan juga ekstrakurikuler sekolah atau
humaniora. Selain itu, pastinya semua ini tidak akan berjalan lancar bila tidak
didukung oleh pemerintah melalui regulasi-regulasi dan kebijakan yang mengatur
ini semua. Pemerintah seharusnya gencar mensosialisasikan dan menunjukan
kebudayaan kita baik melalui pementasan atau acara apa pun dan dipaparkan
nilai-nilai luhur apa saja yang terkandung di dalamnya, sehingga kita dapat
meminimalisir budaya instan, produk dari budaya populer akibat era globalisasi.
Ketika semua ini dijalankan, maka kondisi emosional dan mentalitas masyarakat
pastinya akan membaik, ketika sudah dibiasakan untuk jujur dan masyarakat
menganggap kejujuran itu sebagai hal yang lumrah dan sepatutnya ditegakkan,
maka ketika ada yang tidak berbuat jujur, tidak akan ada toleransi terhadap
penyimpangan tersebut, sehingga secara mental orang tersebut pun akan merasa
bersalah dan tidak mungkin mengulanginya lagi. Karena ketidakjujuran bila
dibiarkan dapat berkembang terus-menerus menjadi korupsi dan hal ini dapat
berdampak luas tidak hanya satu dua orang, melainkan merugikan seluruh elemen
masyarakat. Oleh sebab itu, marilah kita junjung tinggi nilai-nilai luhur
Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita dapat memilah dan
memilih mana budaya yang baik untuk perkembangan diri kita dan mana yang tidak
baik untuk diri kita.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Globalisasi
merupakan sebuah proses yang menyeluruh atau melingkupi seluruh dunia dimana
batas negara, batas ruang dan batas waktu tidak menjadi suatu halangan lagi
untuk mengetahui seluruh informasi yang ada dalam suatu kondisi dari suatu
daerah atau tempat. Sayangnya, globalisasi ini menciptakan budaya populer,
dimana semuanya serba cepat dan instan yang akhirnya melahirkan budaya instan
yang secara mental tidak siap diterima oleh masyarakat di Indonesia.
Mentalitas yang
buruk ini berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan tidak jujur yang sebenarnya
menggeser nilai-nilai budaya asli (kearifan lokal). Ketidakjujuran yang
menjangkit sejak kecil dapat berkembang menjadi sikap-sikap plagiatisme dan
bahkan korupsi yang berdampak merugikan banyak pihak tidak hanya diri sendiri.
B.
Saran
Hal-hal yang
perlu dilakukan untuk mencegah, menyikapi dan mengatasi budaya instan ini
sebagai dampak globalisasi adalah dengan menggunakan Pancasila, rangkuman
nilai-nilai luhur budaya kita, sebagai filter, suatu penyaring sehingga kita
dapat memilah dan memilih budaya yang masuk dan dapat kita ambil nilai-nilai
positifnya saja yang berguna untuk kebutuhan kehidupan kita. Disini berarti
diperlukan peranan keluarga sebagai pendidik pertama dan utama untuk menanamkan
nilai-nilai kepancasilaan sejak dini, peran lingkungan bermain dan sekolah
sebagai kontrol sosial, dan peranan pemerintah dalam regulasi dan mendukung
budaya kita sendiri agar tidak mati terlindas oleh zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Kompas edisi 1 November 2012. “Kasus Hambalang”. 8 Januari 2013.
Hasan,
Sandi Suwardi. 2011. Pengantar Cultural Studies:
Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme
Lanjut. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Hirst,
P. & Thompson, G. 1997. Globalization
in Questions. Cambridge: Polity Press.
Inlah. 2012. “Korupsi Berjemaah”. 8 Januari 2013. http://www.waspada.co.id
Macionis, John J. 2012. Socilogy Fourteenth Edition. USA: Pearson Education.
McMgrew,
A. 1992. Conceptualising Global Politics.
Cambridge: Polity Press.
Meinarno,
Eko A., Bambang Widianto, & Rizka Halida. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan
Sosiologi. Jakarta: Salemba Humanika.
Tomlinson,
J. 1999. Globalization and Culture.
Chicago: University of Chicago Press.